15.55
Café cukup mewah di sebuah mall baru sore itu diisi dengan pembicaraan (baca: curhat) 3 perempuan tentang kisah (pencarian) cintanya masing-masing. Tiga gelas black coffee di meja teraduk dengan komentar slash kupas tuntas tipikal perempuan-perempuan metropolitan seperti buku Why Men Marry Bitches, film seri Sex and The City, email seorang teman tentang Petunjuk Mencari Suami Yang Baik, pengalaman orang-orang sekitar tentang What Was Their Reason To Get Married?, plus diberi “topping” www.lovecalculator.com yang dengan ajaib bisa menghitung kadar kecocokan hubungan seseorang lewat memasukkan namamu dengan nama (calon) pasangan (idaman) mu.
Perhitungan nama berlangsung dengan cukup heboh. Karena dari skala sedikit sampai skala setengah bahkan agak memaksa, nama lengkap masing-masing dikurangkan atau ditambahkan nama keluarga-nama tengah-nama beken-nama panggilan agar mungkin saja akan memberikan prosentase yang menyenangkan mata dan menyejukkan hati. Oops, nggak ngefek. Prosentase yang terlihat selalu saja di bawah 50%. Bahkan untuk beberapa nama, sudah dikurangkan dan dilebihkan bagaimana pun tetap memberikan nilai 01%. Di tengah perhitungan ala Dr. Love itu, tepatnya saat daftar nama-nama yang ingin diisikan di kolom kosong itu semakin berkurang, tiba-tiba salah seorang temanku membicarakan tentang hasrat barunya untuk memiliki kamera LOMO. Dan dia bisa menjelaskan panjang lebar dengan mata berbinar tentang kamera ini.
LOMO adalah sebuah kamera buatan Rusia yang tadinya dibuat untuk kebutuhan perang. Bentuknya tidak elegan dan bukan terbuat dari bahan yang mahal. Hanya berbahan plastik dan nggak “slim”. Seseorang yang menenteng kamera Lomo pastinya tidak terlihat sekeren orang-orang yang menenteng kamera mahal lainnya. Ditambah karena hasil foto yang selalu cacat dari jepretan kamera ini, tentu saja tidak menarik bagi para fotografer berkelas tadinya, dan dengan begitu tentu saja tidak menjadi rekomendasi bagi para orang kebanyakan. Setiap kamera Lomo memiliki kecacatan tersendiri terhadap hasil jepretannya. Semacam signature dan keunikan yang personal dari tiap kamera.
Tapi berkat seseorang, yang temanku lupa namanya, ia bilang akhirnya kecacatan hasil jepretan kamera Lomo ini berhasil diinterpretasikan sebagai karya seni yang unik. Dan entah karena orang-orang ingin dianggap berjiwa seni dan memiliki jiwa kreatif, atau pada dasarnya mata mereka semakin terbuka akan nilai seni dan keunikan dari kecacatan hasil kamera Lomo, kini akhirnya semua orang pun tertarik ingin memiliki kamera tersebut. Memiliki kamera ini pun akhirnya menunjukkan identitas tersendiri. Sebuah taste yang belum tentu dimiliki orang lain. Dan untuk memilikinya pun ternyata tidak susah dan mahal. Di mulai dari harga 400 ribu rupiah seseorang bisa memiliki kamera ini. Dan yang lebih menyenangkan dari kamera ini, termasuk juga yang lebih menarik perhatianku tentang cerita kamera ini, adalah mottonya: bawa kamera ini kemana aja…and just shoot, don’t think.
So perfect, right!!!! Harganya murah, tinggal jepret enggak pake teknik, dan kalo hasilnya cacat…kan memang itu inti dari kamera ini. Kecacatan yang membuat sempurna.
Selesai menceritakan Lomo, tiba-tiba kami tertegun dan menatap satu sama lain. Sepertinya kami bertemu dalam satu titik pikiran yang sama tanpa harus membicarakannya. Tapi akhirnya kalimat itu keluar juga….”Do you think that maybe we’re like….LOMO?” hahuahuahauhauhau. Tawa meledak. Tapi dalam nada agak miris. Karena mungkin itu excuse. Tapi hey, mungkin juga itu benar. Entah. Bisa jadi, kata-kata sakti penyembuh hati selama ini “segala sesuatu indah pada waktunya” itu memang akan benar terjadi setelah ada seseorang di luar sana yang…… berhasil melihat “kecacatan” sebagai salah satu keunikan, bukan kekurangan. Atau……setelah ada seseorang di luar sana yang….do not think, just shoot me. Huahauhauhauhauahua.